Minggu, 30 Juli 2006

Tangga Menuju Kebahagiaan

Di dalam keluarga akan selalu hadir bagi mereka yang tahu dimana letak tangga sesungguhnya berada. Seringkali kita tersesat pada tangga semu dalam hidup ini. Gambaran mobil mewah, kekayaan yang melimpah, kedudukan bagai tangga fatamorgana yang justru menjauhkan diri kita menuju kebahagiaan. Allah SWT sudah memperingatkan kita dalam surah al-Anfal (8:63) “Law anfaqta ma fil ardhi jami’an ma allafta baina qulubihim” Walaupun kau belanjakan semua kekayaan yang berada dimuka bumi, kau tidak akan bisa mempersatukan hati mereka. Itu berarti bahwa tangga yang sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan bukanlah kondisi material namun lebih bersifat essensial.

Oleh sebab itu kondisi materi tidak bisa menjadi tolok ukur kebahagiaan dalam keluarga, ada keluarga yang sangat kaya raya bahagia, juga ada keluarga yang tidak punya justru menderita. Namun sebaliknya ada keluarga yang tidak berpunya namun sangat bahagia dan ada juga orang yang kaya raya justru menderita karena harta bendanya. Semua itu tergantung sejauhmana keluarga tersebut menemukan tangga kehidupan menuju kebahagiaan yang hakiki.

Dalam perjalanan hidup saya pencarian tangga menuju kebahagiaan seperti tak pernah henti sebagaimana halnya anda. Kali ini saya menawarkan pilihan tangga bagaimana dalam keluarga untuk bisa mencapai kebahagiaan.

Tangga pertama, “Man arofa nafsahu wa man arofa robbahu.” Kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu. Mengenali diri berarti juga mengenali Tuhan. Kenapa mengenali diri berarti mengenali Tuhan? Mengenali diri diawali mengenali suara hati kita. Suara hati akan terdengar jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang bagaikan kuda liar. Membiarkan tubuh dikendalikan hawa nafsu akan membuat tubuh menjadi sarang penyakit. Membiarkan jiwa dikendalikan hawa nafsu maka berbagai penyakit jiwa akan bersarang. Dengan mengendalikan hawa nafsu maka akan terdengar suara hati. Pada suara hati kita melihat Allah SWT sebagai tujuan akhir. “Wa ilallahi turja’ul umur” (Dan hanya pada Allah-lah dikembalikan segala urusan). SQ. Al-Baqoroh 2:210.

Tangga kedua, Belajarlah menerima diri sendiri. Ada cerita seorang istri yang bersuamikan ekspatriat. Suatu hari sang suami pulang ke Belanda. Tanpa seijin suaminya sang istri melakukan operasi plastik untuk memancungkan hidungnya. Begitu suaminya pulang dari Belanda melihat hidung istrinya yang berubah menjadi mancung membuat sang suami menjadi marah besar. Istri keheranan, kenapa suaminya marah. Kata suaminya, “saya itu mencintai kamu karena hidung kamu yang pesek itu.”

Dari cerita itu dapatlah kita petik bahwa menerima diri sendiri berarti menerima segala bentuk kekurangan dan kelebihan diri kita. Menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri berarti menemukan sinergi didalam diri sendiri sebab didalam diri itulah kita juga terdapat perbedaan.

Tangga ketiga, belajarlah memberi. Ada seorang kawan yang selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika lagi tanggal tua gaji udah habis, dia malah mentraktir makan soto. Kawan saya itu mengatakan, jika ingin mendapatkan sesuatu belajarlah dengan memberi. Jika ingin kebahagiaan, berikanlah kebahagiaan itu pada orang lain. Jika kita ingin kebaikan berikanlah kebaikan itu kepada orang lain. Jika ingin kekayaan maka sering-seringlah bersedekah. Maka kita akan mendapatkan dari apa yang kita berikan pada orang lain.

Tangga keempat, temukanlah guru sejati kehidupan. Disekolah seringkali saya dipusingkan jika berhadapan dengan siswa yang suka pacaran disekolah, tidak ikut sholat jumat, datangnya suka terlambat rasanya tidak tahan menghadapinya, malah ada rekan pengajar yang mengatakan pada saya, “Kita harus bersyukur sebab dari merekalah kita sebenarnya menemukan guru sejati kita., kita bisa belajar sabar, ikhlas, dan membuat kita semakin memahami kehidupan.”
Dari ucapan sahabat tersebut maka makna yang bisa dipetik bahwa bersyukurlah kita jika memiliki istri yang sangat cerewet, atau suami yang susah diatur, murid yang bandel datangnya suka terlambat sebab dengan demikian kita akan menemukan guru sejati kehidupan. Dari sanalah kita bisa belajar makna kehidupan.

Tangga kelima, “baiti jannati.” rumahku adalah surgaku. Puncak tangga didalam keluarga menuju kebahagiaan adalah jika kita mampu menjadikan rumah sebagai surga. Rangkaian tangga menjadi diri sendiri, belajar menerima, belajar memberi dan menemukan guru sejati adalah rangkaian sikap kita untuk membangun rumah tangga kita menjadi surga pada semua anggota keluarga, baik suami, istri dan anak-anak. Dengan demikian pada tangga yang terakhir adalah menuju rumahku adalah surgaku. Lantas bagaimana dengan tangga kehidupan yang anda miliki?

Rabu, 26 Juli 2006

Biasanya Silaturrahmi

Identik dengan lebaran, terminal bus, stasiun kereta dan bahkan pelabuhan dan bandara dipenuhi oleh calon penumpang. Jalan raya pantura macet total menjelang hari lebaran. Mau kemana mereka, dan apa sebenarnya yang mereka cari ? Yah mereka mau mudik, mau pulang kampung. Apa yang mendorong mereka mau bersusah payah mudik lebaran ? Ada dua hal; pertama tradisi lebaran yang sudah ratusan tahun. Tradisi mempunyai kekuatan luar biasa dalam menggerakkan aktifitas sosial. Tradisi juga menjadi benteng dari nilai-nilai budaya. Kedua;Tradisi mudik menjadi lebih kuat karena di dalamnya ada nuansa agama, yaitu silaturrahmi. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu dorongan untuk bertemu keluarga dan teman-teman lama di kampung halaman berasal dari fitrah sosialnya. Bagi santri, mudik menjadi bernuansa religius karena silaturrahmi memang perintah agama.

Secara harfiah, silaturrahmi artinya menyambung persaudaraan atau menyambung tali kasih sayang. Agama melarang jotekan atau marahan. Suami isteri yang sedang marahan oleh agama ditolerir hanya selama tiga hari. Lebih dari tiga hari mereka diancam dengan dosa. Sebenarnya silaturrahmi tidak dibatasi oleh lebaran. Setiap saat kita dianjurkan untuk menebar salam, menebar silaturrahmi. Dengan silaturrahmi, fitnah bisa diredam, salah faham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun.

Menurut hadis Nabi, siaturrahmi mengandung dua kebaikan, yaitu menambah umur dan menambah rizki. Yang dimaksud dengan nambah umur bukan tahunnya, tetapi maknanya. Ada orang yang umurnya pendek tapi maknanya panjang, sebaliknya ada orang yang umurnya panjang tetapi justeru tak bermakna. Silaturrahmi akan menambah makna umur kita karena di dalamnya ada unsur perkenalan, publikasi, belajar, apresiasi disamping rizki. Yang kedua silaturahmi bisa menambah rizki. Rizki dari silaturrahmi bisa bisa berupa uang, makanan, persaudaraan, jaringan, pekerjaan, jodoh, besanan, pengalaman, ilmu dan sebagainya. Rizki itu sendiri artinya semua hal yang berfaedah (kullu ma yustafadu). Uang yang kita terima menjadi rizki jika ia membawa faedah. Kenaikan pangkat menjadi rizki jika membawa faedah. Isteri atau suami adalah rizki jika membawa faedah. Jika kesemuanya itu tidak membawa faedah meski jumlahnya banyak, maka itu bukan rizki, tetapi bencana. Betapa banyak orang ketika penghasilannya pas-pasan hidupnya berbahagia dengan anak isterinya, tetapi ketika naik pangkat dan penghasilannya besar justeru kelakuannya menjadi berubah dan akhirnya keluarganya menjadi berantakan. Nah naik pangkat dan uang banyak itu ternyata belum tentu menjadi rizki keluarga, sebaliknya malah menjadi bencana baginya.

Lalu bagaimana caranya bersilaturahmi ? ada empat cara . Pertama dengan kirim salam. Kedua bisa dengan kirim sms atau surat, surat biasa atau email. Ketiga berkunjung, bertatap muka. Ke empat, meski tidak ketemu muka tetapi jika bingkisannya nyampai, weselnya nyampai, itu juga silaturrahmi. Nah yang paling sempurna adalah gabungan dari empat cara itu; jauh-jauh sudah kirim salam, kemudian disusul surat atau telpon bahwa akan mudik, tolong di jemput di stasiun, ketiga benar-benar mudik sekaligus membawa tentengan.


Kebanggaan Yang Mengecoh

Secara sosial, ada dua hal yang secara umum membuat seseorang berbangga hati, yaitu; (1) jika berhasil memiliki kekayaan harta, (2) jika berhasil menduduki kursi kekuasaan. Jalan pikiran dari dua kebanggaan itu ialah, Pertama; dengan uang semuanya bisa dibeli; jabatan, titel, hukum, kehormatan bahkan orangpun bisa dibeli. Semua kesenangan hidup seakan dapat dibeli dengan uang. Kedua; dengan kekuasaan, semua keinginan bisa dicapai, semua hambatan bisa disingkirkan. Dengan menggenggam dua hal itu; harta dan kekuasaan, dunia seakan sebagai sorga.

Benarkah ?
Sesungguhnyalah bahwa manusia sering tertipu oleh obsessi sendiri. Secara fitri, kenikmatan materi selalu meningkat standardnya, yang dengan demikian manusia sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar menikmati kekayaan. Nikmatnya makanan lezat hanya dirasakan pada kali yang pertama dan kedua. Ketika makanan lezat yang sama dihidangkan berturut-turut selama dua tiga hari, maka lidah tidak lagi merasakan kenikmatannya, sebalinya berubah menjadi bosan dan muak. Demikian juga dengan uang. Ketika pertama kali orang memiliki uang sejuta rupiah, maka kebanggaan menyelimuti hatinya, tetapi ketika satu milyard sudah berada di tangan, maka ia tidak lagi dapat merasakan kebanggaan atas uang satu juta. Begitulah hati manusia terhadap materi; uang, pakaian, rumah, kendaraan, makanan dan seterusnya.
Demikian pula dengan kursi kekuasaan. Ketika pertama kali seseorang berhasil menduduki jabatan dalam struktur kekuasaan, maka ia berbangga hati dengan jabatannya itu. Tetapi ketika ia berhasil naik ke jenjang kekuasaan yang lebih tinggi, maka ia memandang kecil makna jabatan dibawahnya. Ketika sudah berada dalam kursi kekuasaan yang tertinggi, maka pada gilirannya ia mengidap perasaan takut jatuh dari ketinggian.

Oleh karena itu yang dilakukan kemudian adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh. Dari atas kursi yang tertinggi ia merasa terancam oleh orang-orang yang dahulu menjadi sahabatnya, ketulusan berubah menjadi kecurigaan, keindahan pengabdian berubah menjadi rekayasa palsu. Harta dan kekuasaan seringkali mengubah perilaku manusia dari lembut menjadi kasar, dari persahabatn menjadi permusuhan, dari ketenangan menjadi kegelisahan, dari keadilan menjadi kezaliman.

Menurut al Mawardi dalam Kitab Adab ad Dunya wa ad Din, harta dan kekuasaan akan benar-benar menjadi kebanggaan jika ia duduk dalam sistem yang bersendikan enam subsistem, yaitu; (1) dinun muttaba‘un, agama yang diikuti aturannya (2) sulthanun qahirun, kekuasaan yang efektif, (3) ‘adlun syamilun, keadilan yang merata (4) amnun ‘am, keamanan umum yang terjamin, (5) khishbun da’imun, kesuburan yang konstan, dan (6) amalun fasihun, cita-cita yang tinggi.

Agama yang diikuti aturannya
Dengan mengikuti aturan agama maka kekayaan akan sebangun dengan kemaslahatan dan kesejahteraan umum. Orang kaya membayar zakat, sedekah dan infaqnya, masyarakat miskin merasakan manfaat dari kehadiran orang kaya. Orang-orang miskin yang terbantu menghormati, menyayangi, mendoakan, membela dan melindungi orang kaya, dan orang kaya yang patuh beragama ini hidup tenang aman dan bahagia. Demikian juga penguasa yang mematuhi ajaran agama, ia tidak merasa sebagai penguasa, tetapi merasa sebagai pelayan masyarakat, sayyid al qaumi khadimuhum.

Kekuasaan yang efektif
Menjadi orang kaya di lingkungan masyarakat dimana sistem kekuasaan tidak berjalan efektif, akan sulit untuk mengembangkan kejujuran, karena ia harus selalu siap menghadapi ketidak menentuan. Kekuasaan yang efektif bisa melindungi si lemah dari kezaliman, bisa memaksa orang kaya untuk membayar kewajibannya. Demikian juga menduduki kursi kekuasaan dari sistem kekuasaan yang tidak effektif hanya akan menempakan penguasa menjadi boneka kepentingan.

Keadilan dan keamanan
Keadilan umum yang merata akan membuat masyarakat merasa aman, percaya diri dan bercita-cita. Dalam suasana keadilan yang merata orang kaya merasa tidak sia-sia berbuat baik dengan hartanya, penguasa merasa berani untuk bertindak fair karena didukung oleh rasa keadilan masyarakat.

Kesuburan dan cita-cita
Kesuburan yang konstan akan menghidupkan perekonomian masyarakat yang berpola, dan dalam suasanan adil, aman dan subur akan terbangun cita-cita yang tingi. v


Selasa, 25 Juli 2006

Saat Malam Hujan

Begitu lebat, Jakarta bagai padang luas yang disirami. Didalam angkutan umum anak kecil menyanyikan lagu tombo ati, sambil mengusap ingusnya. Nyanyian itu nyanyian hati ditengah duka ibukota. Anak kecil itu tak mengerti tentang duka, yang dia tahu setelah menyanyi berharap ada uang receh yang didapat.

Nyanyian tombo ati bagai air hujan yang menyirami hati yang terluka akibat duka yang berkepanjangan. Sebuah pertanyaan sempat terlontar. Sudahkah kita membaca duka dengan memahami makna dibalik semua ini? Apa ya kira-kira hikmahnya? Kita terkadang buta untuk membaca makna. Mudahnya kita terjebak pada materi yang nampak.

Sebagai orang yang terlibat dunia pendidikan seringkali menemukan banyak orang yang terluka hatinya dan berharap ketemu, kemudian ditumpahkan uneg2nya dan selesailah semua persoalan. Padahal yang saya lakukan hanya bisa mendengarkan aja. Setelah itu saya katakan, sebenarnya kita selalu memiliki jawaban dari setiap persoalan yang ada pada diri kita.

Pernah saya ketemu dengan anak yang hiper aktif. Belakangan saya tahu dari ibunya, sang anak sering melihat ayah dan ibu bertengkar sehingga sang anak menjadi hiper aktif. Saya katakan pada ibu itu, sebenarnya ibu tahu jawaban dari persoalan anak ibu, jangan membiarkan anak menyaksikan pertengkaran orang tua.

Pertengkaran Ayah dan ibu akan mempengaruhi perkembangan anak. Pertengkaran itu muncul karena rasa sakit dalam hati. Kiranya benarlah Nabi SAW memberikan kita resep obatnya hati, agar kita membaca Quran dan Maknanya, Mendirikan shalat malam, berkumpul dengan orang shaleh, berpuasa, dan senantiasa zikir malam. Rasanya membuat hati kita menjadi tentram dikala kita mampu mengerjakannya.

Malampun mulai sayup, angin terasa dingin. Bersamaan laju kencang kendaraan. Nyanyian Lagu tombo ati terdengar bagaikan doa penyembuh dari bocah pengamen bagi mereka yang hatinya terluka.




Kamis, 20 Juli 2006

Wajah Lelaki Itu Berubah

Menjadi merah, penumpang ngotot meminta kembalian. Sang kenek menjadi marah, dia bilang tidak ada kembalian. Ibu-ibu ribut berteriak, mencegah terjadi perkelahian. Semua tak digubrisnya. Dua orang itu berkelahi ditengah kendaraan sedang melaju kencang.

Peristiwa itu seolah mengajarkan kepada saya bahwa kekerasan bukan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah, bergugurannya rasa empati terhadap sesama menjadi hilang. Rasa ego dan ingin menang sendiri menjadi muncul, kekerasan menjadi satu pilihan. Seorang ibu disebelah saya duduk gemetar, berkali-kali istighfar. Didalam hati saya bertanya pada diri sendiri, Kenapa kekerasan tak pernah henti, ditengah kondisi yang serba sulit ini?

Minggu, 09 Juli 2006

Bersama Keluarga Menggapai Kebahagiaan

Setiap perbuatan kita selalu diawali dari niat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhamad SAW “Innamal a’malu binniyat.” Setiap perbuatan diawali dari niat. Demikian dengan sebuah keluarga. Ketika kita hendak membangun sebuah keluarga yang paling mendasar adalah bagaimana niat kita, apa tujuan kita membangun rumah tangga. Dulu sebelum saya dengan istri menikah, pernah saya ditanya pada calon istri menikah itu untuk apa. Jawab saya, untuk membangun peradaban umat.

Kami berdua akhirnya menyepakati bahwa peradaban umat akan terbangun dari keluarga. Keluarga cerminan dari “umatan wasathon”, umat yang satu.” Setiap tindakan, keputusan, pandangan haruslah kesepakatan bersama didalam keluarga sebagai umat yang satu.

Umat yang satu yang selalu terus menerus memiliki semangat belajar, seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhamad SAW, “Belajarlah engkau dari anyunan hingga liang lahat.” haruslah dilandasi ilmu dan amal, pengertian dan perbuatan dengan semangat belajar dan mencari kebaikan dunia dan kebaikan akherat. itulah sebabnya doa “Robana atina fidunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wakina ‘ada bannar.” Senantiasa terus dipanjatkan agar sebuah keluarga senantiasa mencari kebaikan dunia dan kebaikan akherat.

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan komunitas belajar. Capaian dari komunitas belajar adalah kemajuan. Kemajuan dalam ajaran Islam berarti kemajuan iman, bukan kemajuan materi. Seperti dalam panggilan Adzan “Hayya ‘alal Falah.” Mari menuju kemenangan, kemajuan dan kebahagiaan.

Ukuran kemajuan, kemenangan dan kebahagiaan dalam keluarga bukanlah kondisi materi namun ukurannya adalah betambahnya iman. “Wama zadahum illa imana” (QS Al-Ahzab (33):22 materi merupakan kondisi perlu tapi tidak mencukupi sebab kondisi materi tidak menjamin kondisi keimanan seseorang. “law anfaqta mafil ardhi jami’an ma alla baina qulubihim.” (Walau kau belanjakan semua kekayaan yang berada dibumi, kau tidak akan mempersatukan hati mereka). Ini berarti yang didalam itulah identitas sejati kita bukanlah kekayaan atau materi yang diluar diri kita. Kebahagiaan dalam sebuah keluarga Muslim disebutkan dalam surat albaqoroh 210 “Wa ilallahi turja’ul umur” Allah SWT-lah sebagai tujuan akhir kita.

Senin, 03 Juli 2006

Hati Yang Ikhlas

Bisa pada siapa saja juga termasuk seorang sopir. Pada Senin siang kemaren saya naik kendaraan umum dari Blok M -Senen, sopirnya nampak usia sudah senja namun kelihatan berseri. Ditengah panas dan terik kota Jakarta tidak mempengaruhinya untuk tetap bekerja dengan sesekali bercanda dengan kenek.

Sepintas saya tidak begitu memperhatikan namun setiap kali ada penumpang yang turun sang sopir selalu mengingatkan, "Awas hati-hati turunnya.." sambil melap mukanya yang penuh keringat. Keikhlasan hati terpancar pada perilakunya menyopir dan bagaimana dia memperlakukan setiap penumpang. Nilai 2000,- rupiah hampir tidak sebanding dengan keikhlasan dan kebaikan pak sopir. Rasanya saya ngiri pada pak sopir bagaimana caranya hati bisa ikhlas ditengah panas terik yang membakar namun bisa sabar menghadapi berbagai perangai penumpang.